kedudukan ijma

KEDUDUKAN IJMA’
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih1
Dosen Pembibing: Yusuf Efedi,S.H.I, M.Pd.I
Disusun Oleh:
Habibi
M. Rofiq Murtaji
M. Rosadi

Kelompok 2

Semester 5B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) PURWOREJO  2016




KATA PENGANTAR

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Ahlak kepada orang tua. Sebagai Barang Berguna ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
       Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan tentang ahlak terhadap orang tua atau keluarga. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
         Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.



                                                                                                Purworejo, November 2016


                                                                                                            Penyusun











BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
 Pada Dasarnya Ushul Fiqih menerangkan tentang Pengertian, Objek , Perbedaan dengan fiqih, tujuan mempelajari dan sumber pengambilan yang akurat. Ushul fiqih memiliki sejarah dan pekembangan dari zaman ke zaman sehingga banyaknya perbedaan yang tentang hukum-hukum keislaman  dan petunjuk kehidupan. Seperti halnya Al-Qur’an dan Al-hadits sebagai sumber hukum islam, Ijma’, Qiyas, Ihtisan, Maslahah mursalah, Ur’f, Berbagai macam Madzhab Shahabi, Istishab, Syar’u man qoblana, Ijtihad dan Al-Ahkam al-Syar’iyah. Materi tersebut sangat berkaitan dengan hukum yang berada dilingkup keislaman, karena pada dasarnya Ushul fiqih membicara kan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum sya’riat islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi suatu hukum dengan menggunakan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf,dirumuskan berbentuk “hukum Fiqih” agar dapat diamalkan dengan mudah.
Ushul Fiqih sangat diperlukan ilmu-ilmu bantu yang langsung berperan,seperti ilmu bahasa  Arab dan qawa’idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tarikh, dan ilmu tauhid, dengan adanya ilmu tersebut pembahasan Ushul Fiqih tidak akan menemui sasaran-nya.Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya. Ushul Fiqih itu ialah suatu ilmu yang berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari’at Islam. Ushul Fiqih mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya, formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, sehingga orang dapat merumuskan hukum dan penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran agama islam yang bersifat universal.[1]






  1. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pegertian Ijma’?
2. Bagaimana Rukun-rukun Ijma’?
3. Bagaimana Macam-macam Ijma’?
4. Bagaimana Fungsi dan Keduduan Ijma’?

  1. TUJUAN MASALAH
1. Untuk Mengetahui Pengertian Ijma’.
2. Untuk Mengetahui Rukun-rukun Ijma’
3. Untuk Mengetahui Macam-macam Ijma’
4. Untuk Mengetahui Fungsi dan Kedudukan Ijma’






















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
            Ijma’ menurut istilah ahli usul ialah pesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggalnya Rasulullah saw. Terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.
            Sebagai realisasi ta’arif  tersebut ialah apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah peristiwa itu di kemukakan kepada para mujahid ari kaum muslmin, mereka lalu mengambil persepakatn terhaap hukum peristiwa tersebut, maka persepakatan itulah disebut Ijma’. Putusan ijma’ ini merupakan dalil syar’I terhadap masalah itu.
            Persepekatan itu terjadi setelah wafatnya Rasuullah saw. Sebab ada masa belau masih hidup , beliau sendirilah satu-satunya tempat meminta untuk menetapkan hukum suatu perisiwa oleh karena itu ada saat beliau masih hidup tidak mungkin teradinya perlawanan hukum terhadap suatu masalah dan tidak pula teradi adanya hukum suatu peristiwa hasil dari persepakatan, karena persepekatan itu sendiri megingatkan akan adanya beberapa orang utuk bermusyawarah. Pada hakikatnaya mereka tidak prlu bermusyawarah, cukuplah kiranya apabila mereka menanyakan saja kepada Rasulullah saw.[2]
B. Rukun-rukun Ijma’
            Oleh karena ijma’ itu adalah persesuaian pendapat para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa terhadap hukum suatu peristiwa, maka ijma’ itu tidak aan terealisir sekiranya tidak memenuhi 4 macam rukun berikut ini
a.       Pada masa tejadinya peristwa itu haruslah ada beberapa orang mujtahid. Sebab istilah persepakatan pendapat  itu tidak akan berwujud sekiranya tida ada beberapa macam pendapat yang masing-masig pendapat itu ber sesuaian dengan pendapat yang lain. Jikalau dalam masa terjadinya peristiwa itu tidak ada seorang musjtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya seorang saja maka tidalah terjadi ijma’ yang dibenarkan oleh Syara’. Oleh karena itu pada waktu Rasulullah saw. Masih hidup ijma’ itu tidak akan teradi, karena beliau sajalah satu-satunya mujtahid pada waktu itu.
b.      Seluruh mujtahd kaum muslin menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan itu  tidak memadang negara, kebangsaan dan golongan mereka. Kala peristiwa yang di musyawarakan itu hanya di sepakati oleh mujtahid dari satu negara saja, misalnya mujtahid dari mesir atau Saudi Arabia atau Pakistan atau Indonesia saja maka hasil putusan tersebut bukanlah ijma’. Ijma’ haruslah merupakan persepakatan dari seluruh mujtahid alam islam pada saat peristiwa itu terjadi
c.       Persepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh masing-masing dari mereka secara tegas terhadap perstiwa itu baik lewat perkataan maupun perbuatan,
d.       Persepakatan itu haruslah merupakan persepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid jadi kalau persepakatan hanya dari kebanyaka mujtahd saja sedangkan sebagian mujtahid yang lain menentangnya.maka bukanlah merupakan ijma’ yang dapat dijadikan hujjah syariyah[3]
C. Macam-macam ijma’
 Ditinjau dari cara-cara terjadinya ijma’ itu ada 2 macam
1.      ijma’ sharih yaitu persesuaian pendapat para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum   perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya .
2.      ijma’ sukuti yaitu sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hal hukum suatu peristiwa dengan menfatwakan atau mempratekkanya, sedangkan sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum itu dan tidak pula menentangnya.
           Ijma’ macam yang pertama menurut jumhur adalah ijma’ haqiqi dan menjadi sumber hukum syariat. Sedangkan ija’ macam yang kedua adalah ijma’ ‘tibari (masih reatif).sebab orang yang berdiam diri itu belu tentu kalau ia setuju. Karena kedudkan ijma’ macam yang kedua ini masih diperelisihkan. Jumhur menetakannya bukan sebagai hujjah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat perseorangan. Aka tetapi ulama hanafiah berpendapat bahwa ijma’ sukuti itu dapat di jadikan hujjah, apabila ujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan kepadanya peritiwa itu beserta pendapat mujtahid yang lain yang telah berijtihat dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tiak didapati suatu petunjuk bahawa dia berdiam diri itu karena takut atau megambil muka atau lain sebagainya.
Di tinjau dari segi qath’i (pasti) dan zhanni (dugaan)nya dalalah, ijma’ itu d bagi menjadi 2 macam
1.      ijma’ qathi’uyud dalalah terhadap hukumnya. Yakni hukum yang dihasikan dari ijma’ ini adalah qath’I jadi, idak ada jalan lain untuk menetapkan hukum perisiwa itu berbeda dengan hukum hasil ijma’ tersebut dan tidak ada jalan lain untuk berijtihat lagi terhadap perstiwa yang telah ditetapan oleh ijma’ itu yang qath’iyub dalala itu ialah ijma’ sharih
2.      ijma’ zhanniud dalalah terhadap hukumnya yakni hukum yang dihasilkan dari ijma’ ini adalah zhann ( dugaan aja) dan peristiwa yag telah ditetapkan hukumnya berdasarkan imja’ ini masih mungkin bisa di jadikan sasaran ijtihad leh mujtahid lain. Sebab ia baru merupakan hasil dari sebagian mujtahid, bukan ari seluruh mujtahid. Ijma’ acam  kedua ini adalah ijma’ sukuti[4].
D. Fungsi ijma’
            Yang dimaksud fungsi ijma’ di sini adalah kedudukannya dihubungkan dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu, menurut ulama Ahl as-Sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu adalah hanya untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’ dilihat dari sudut pandangan masing-masing kelompok.
Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugrahkan kepada ulama yang melakukan ijma’tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.
           Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’ dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas[5]
E. Kedudukan ijma’
           Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al – Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al – Qur’an maupun sunnah
            Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
 Firman Allah SWT : 
يا ايهاالذذين امنو اطيعواللّه واطيعواالرّسول واولى الامر منكم (النساء:  59 )
Artinya :
“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )[6]
Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah  mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’.  Dan pendapat ini dianggap lebih kuat daripada pendapat perorangan.[7]
F. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
            Menurut satu riwayat, bahwasanya Abu Bakar ra apabila kepadanya dihadapkan orang-orang yang bersengketa dan ia tidak menemukan sesuatu yang ia putuskan diantara mereka baik didalam kitab Allah maupun sunah Rasul-nya, maka ia mengumpulkan tokoh-tokoh umat islam, dan orang terbaik dari kaumnya, kemudian ia mengajak mereka bermusyawarah , lalu apabila mereka bersepakat, maka ia pun melaksanakan kesepakatan[8]            Akan tetapi, jika masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala aspeknya jelaslah bahwa : masalah menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau hujjah, bukanlah masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun mereka membenarkan ta’rif ijma’ yang telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’ yang seperti itu tidak mungkin terjadi. 
      Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa “kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tak dapat diterima lagi karena para ulama islam telah bertebaran sampai kepelosok. Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal yang mudah lagi, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil dan belum pernah kita dengar bahwa mereka seluruhnya telah berkumpul di kota itu untuk menyepakati sesuatu hukum. Bahkan imam Ahmad itu mengingkari terjadinya ijma’ yang diartikan dengan arti ahli ushul itu di masa sahabat sendiri. Beliau mengatakan “barang siapa mengatakan berarti ia telah berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku tak tahu ada orang yang menyalahi pendapat ini”. Karena boleh jadi telah ada yang menyalahi yang belum sampai berita ini kepadanya. 
      Abu Muslim Al Ashfahani mengatakan bahwa “ para ulama menetapkan bahwa ijma’ sahabat itu dipandang (diterima) ijma’ orang dibelakang sahabat diperselisihi. Abu Muslim menetapkan pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak mungkin diketahui ada/terjadi. Dia menandaskan bahwa “sukar kita mengetahui ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’ sahabat yang masih sedikit jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma’. Keadaan itu memungkinkan meraka berkumpul atau memberi persetujuan kepada sesuatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat, adapun sekarang sudah islam tersebar ke seluruh pelosok, banyak bilangan ulama, tak mungkin lagi kita meyakini ada terjadinya ijma’ (kata sepakat) diantara mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu muslim ini itulah yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih dekat masanya kepada masa sahabat dan yang sangat luas hafalannya terhadap segala urusan yang dinukilkan. 
Ringkasnya ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar[9]         








BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sumber hukum islam sejatinya terbagi atas Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Sedangkan Sunnah merupakan jalan yang biasa dilakukan , tidak mempermasalahkan apakah cara tersebut baik atau buruk, pengertian sunnah bisa diartikan Ilmu Hadits, Ijma’, ialah kespakatan mujtahid ummat islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Ijma’ memiliki Landasan dasar yaitu adanya Dalil-dalil yang berasal dari Rasullulah Saw. Ijma’ dapat dijadikan hujjah yang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara.Ijma’ memiliki berbagai macam syarat yang harus di penuhi oleh mujtahid ;Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih. Menguasai ilmu bahasa. Rukun-rukun Ijma’ terbagi atas :harus mujtahid dikala itu, melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid terjadi setelah wafatnya Nabi. Macam Ijma ;Ijma’ Bayani, Ijma’ Sukuti, Ijma’ Qath’I, Ijma’ Dhanni. Kehujjahan ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma.

B. SARAN
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Banyak kekurangan disana-sini, untuk itu mohon kiranya para pembaca sekalian berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan dimasa yang akan datang.









DAFTAR PUSTAKA

Suwarjin, Ushul Fiqh Yogyakarta,Teras 2012
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama ,Toha putra Group,1994
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama ,Toha putra Group,1994
Satria M. Zein, MA, Ushul fiqh, Jakarta, 2005
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997




[1] Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta,Teras 2012) Hlm.2
[2]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. (Semarang: Dina Utama ,Toha putra Group,1994). Hlm 58
[3] Ibid…59
[4]Ibid…65
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.133
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. (Semarang: Dina Utama ,Toha putra Group,1994). Hlm.60
[7] Satria M. Zein, MA, Ushul fiqh, ( Jakarta, 2005 )
[8] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. (Semarang: Dina Utama ,Toha putra Group,1994). Hlm.63
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997. Hlm.193

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Halal Haram dan Syubhat

PENERAPAN METODE DALAM RENCANA PENGAJARAN